Malam Mabuk

faizal reza
6 min readNov 22, 2022
Source: https://www.pexels.com/photo/old-paper-calendar-11177238/

Malam hujan selalu membawamu pada semesta jika dan andai. Pada sebuah bar yang mirip latar kisah-kisah percintaan dalam cerpen klasik, dan berisi tamu-tamu yang hanyut dalam sepi masing-masing.

Perempuan yang menarik perhatianmu itu baru datang. Langkahnya tak cukup dramatis apalagi diiringi slow motion. Tapi detik itu juga kau langsung terkesan. Kau tak pintar menerangkan detail tentang apa itu cantik, tapi kau tahu persis kalau dia lebih dari menarik.

Kau tak dapat jelaskan wangi parfumnya, tapi aromanya mengingatkanmu pada pagi cerah dan tawa renyah yang pernah rutin membuka harimu. Perasaan familiar namun asing, juga asing tapi familiar. Kau baru melihatnya sekali, tapi kau sudah bisa bayangkan isi IG Feed-nya, kesehariannya di Stories, atau lagu-lagu yang biasa mengiringi jam sebelum tidurnya.

Kau merasa hari ini melelahkan. Kau putuskan mampir sejenak ke bar ini sebelum pulang. Sekadar duduk dan melepas penat. Malam hujan selalu membawamu pada semesta jika dan andai. Maka di sini kau biarkan perasaan itu tumbuh dan menguar. Kau menyebutnya seni mengasah khayal.

Malam ini kau merasa menjadi penulis cerpen drama. Bagimu menulis adalah menjadi Tuhan bagi karakter-karakter yang kau reka. Kau bebas mengarang wujud mereka, hidup mati mereka, silsilah keluarganya, status sosialnya, bahkan takdir percintaannya.

Lelaki berkumis tipis dan berkacamata di meja paling ujung adalah bajingan. Itu kau tulis di pikiranmu sekarang. Lelaki yang sudah kaya dari lahir, tak pintar-pintar amat dan tak ganteng-ganteng amat, namun beruntung karena mewarisi bisnis ayahnya. Hal-hal itulah yang membuatnya merasa pantas jadi bajingan. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang sedari tadi menempel ke pundaknya. Seorang gadis yang penampilannya seperti kolektor quote-quote romantis di Pinterest.

Kau terkekeh dalam hati. Orang akan menganggapmu judging, tapi kau berkilah kalau itu cuma imagining.

Sekarang pikiranmu berpindah ke meja sebelahnya. Sepasang lelaki perempuan yang tak serasi sama sekali. Si perempuan terlihat seperti istri yang sering ditinggal suaminya bekerja di luar negeri. Sementara lelaki tambun yang duduk di depannya adalah cecunguk yang hobi pamer kedekatan dengan pejabat, padahal para pejabat itu cuma menganggapnya keset.

Otakmu yang julid setengah mati sekarang berpindah ke meja berikutnya. Lelaki gembel yang duduk di depan perempuan cantik yang jelas bukan pacarnya namun lebih terlihat seperti groupiesnya. Si gembel di bayanganmu adalah penyanyi folk tak terkenal, yang hobi menyelipkan semua kata senja dan turunannya ke setiap bait lagu.

Beruntung meja berikutnya tak membuat pikiran julidmu makin brutal. Di meja inilah duduk perempuan yang tadi telah menarik perhatianmu. Perempuan yang tak bisa kau jelaskan seperti apa cantiknya, tapi bisa kau bayangkan jika bersamanya, kalian akan bahagia.

Malam hujan selalu membawamu pada semesta jika dan andai. Pikiranmu kembali mengarang sebuah cerita. Kali ini kau dan perempuan itu sebagai dua tokoh utama. Pertemuan tak sengaja di perpustakaan nasional, di antara rak-rak buku-buku. Dia berjalan buru-buru lalu tak sengaja menabrakmu. Adegan klise dalam sinetron. Dia tersenyum malu-malu dan meminta maaf. Kau balas senyumnya dengan gaya cool yang dibuat-buat. Kau bantu dia memunguti barang bawaannya yang berserakan di lantai. Kau melihat sebuah card holder berwarna ungu, kemudian dengan noraknya kau bertanya, “suka ungu juga?”

Kau berharap dia mengangguk. Tujuannya agar bisa kau tambahkan satu punchline yang menurutmu keren padahal juga norak,

“Saya berhenti denger Ungu sejak vokalisnya ikut Pilkada.”

Kemudian kau sadar kalau itu tak cuma norak, tapi juga memalukan.

Maka kemudian kau karang adegan pertemuan yang lain. Kali ini di penthouse sebuah apartemen. Di tengah malam cerah yang langitnya berbulan sabit dan berbintang sedikit. Cuma kau dan dia. Kau yang sabar mendengar cerita-ceritanya, diam-diam mengagumi senyumnya, dan perlahan tenggelam di matanya.

Malam hujan selalu membawamu pada semesta jika dan andai. Itu pertemuan kalian pertama kali setelah sebulan terakhir hanya berkontak di media sosial. Obrolan yang cuma hal-hal ringan. Membicarakan keributan warga Twitter, gosip selebgram, blunder artis, dan semacamnya. Lalu bergeser ke topik agak serius. Kenapa hidup makin berat? Kenapa Tuhan menciptakan perang? Ke mana manusia setelah mati? Seperti apa dunia kalau dulu Adam Hawa tidak makan buah terlarang?

Setelah itu kalian sama-sama lelah, lalu kembali ke topik ringan lainnya. Kenapa babi jalannya nunduk? Kenapa Tebet dibalik tetap Tebet? Kenapa disebut SIM padahal bentuknya jelas-jelas kartu? Dan seterusnya.

Kau kembali ke adegan penthouse apartemen. Dia mulai menceritakan kisah cintanya yang berantakan. Kau masih diam-diam mengagumi senyumnya. Makin tenggelam ke matanya.

Kau cuma mendengar. Tidak menghakimi, tidak juga memberi saran yang jelas-jelas tak dia butuh. Kau juga sudah tegaskan ke pikiranmu. Malam ini tak akan ada adegan tiba-tiba ciuman atau tiba-tiba telanjang, apalagi tiba-tiba menginap. Tak akan ada plot twist aneh-aneh. Ini cuma babak untuk mengenalnya lebih dalam, dan memang itu yang kau ingin sejak awal.

Dia bercerita tentang mantan pacarnya yang liburan di Bali bersama pacar barunya. Tentang anak magang di kantornya yang hobi mengeluh sedikit-sedikit toxic sedikit-sedikit toxic. Tentang bisnis sampingannya yang jalan di tempat. Juga tentang ketakutannya pada komitmen berkeluarga karena keluarga sempurna baginya cuma keluarga yang isinya Loid Forger, Yor Forger, dan Anya Forger.

Pikiranmu menciptakan satu adegan lagi yang masih bersetting penthouse apartemennya. Dia yang memutar More Than Words dari pemutar musik di handphonenya, sementara kau menyiapkan makanan di dapurnya; sup miso instan yang sebenarnya tinggal diseduh dengan air panas.

Saying I love you

Is not the words I want to hear from you

It’s not that I want you

Not to say but if you only knew

Kau memandangi sosoknya yang bersenandung di balkon sambil menari-nari kecil. Pemandangan yang bagimu mendadak puitis. Kau pernah punya pendapat, jika dua orang bisa berbagi suara dengan benar saat menyanyikan More Than Words, maka mereka bisa dengan mudah bekerja sama membangun apapun, termasuk rumah tangga. Tentu itu pendapat ngawur yang patut dipertanyakan kevalidannya. Lagipula kemudian kau sadar, yang terdengar sekarang adalah versi Westlife, bukan Nuno Bettencourt dan Gary Cherone.

Akhirnya kau terbangun dari lamunan itu. Kau kembali ke tempat dudukmu di bar, lalu mendapati perempuan itu sudah tak ada di kursinya. Kau menyesal karena tak menghampiri dan mengajaknya berkenalan. Kau tahu ini terlalu dini disebut jatuh cinta. Tapi kenyataannya memang kau sedang penasaran. Kau harus bertemu lagi dengannya. Setidaknya tahu namanya, itu cukup. Agar kau bisa menyapanya jika tak sengaja bertemu di mall, atau di bioskop, atau di konser musik, atau di tempat serandom restoran padang, toko pasir kucing, tempat service handphone, atau lainnya.

Kau sungguh penasaran. Maka kau coba bertanya ke waitres yang datang dan membawakanmu gelas kelima. Masih minuman yang sama. Cocktail warna merah yang konon diracik dari vodka, gin, dan apple juice. Rasanya menyenangkan. Racikan yang mungkin ikut andil mengantarmu ke pikiran-pikiran tentang orang-orang di bar ini, dan perempuan misterius yang membuatmu penasaran itu.

“Tidak tahu,” jawab si waitres saat kau tanya ke mana perginya perempuan tadi. Otakmu berpikir untuk bertanya lebih detail ke si waitres. Siapa nama di bill perempuan itu? Seringkah dia ke sini? Atau apa nama minuman yang dipesannya tadi? Tapi kemudian kau urungkan. Karena kau sadar kalau itu agak berlebihan, juga menyeramkan.

Akhirnya kau menyerah. Setelah menggesek kartu kreditmu di kasir, kau bergegas pergi dari bar.

***

Malam hujan selalu membawamu pada semesta jika dan andai. Kadang juga pada bagaimana kalau. Sekarang di depanmu ada dua penjual makanan yang sama menariknya. Kau langsung ingat bahwa perutmu sejak siang belum terisi apapun selain alkohol. Bar tadi sebenarnya menjual makanan, tapi di buku menunya tak ada yang cocok dengan seleramu. Maka dengan dua pilihan di depanmu sekaranglah kau dihadapkan; warung mie babi atau restoran steak.

Pikiranmu masih digelayuti alkohol dan sisa-sisa penasaran akan perempuan yang tadi kau lihat di bar. Lagi-lagi otakmu mencoba mengarang-ngarang cerita. Bagaimana kalau perempuan tadi juga sedang makan di warung mie babi? Apakah warung mie babi cukup romantis buat dijadikan tempat berkenalan? Bagaimana menjelaskan kenapa kau makan babi padahal agamamu jelas melarang? Atau bagaimana kalau warung ini tiba-tiba digeruduk ormas karena tak punya izin menjual makanan mengandung babi?

Kau kembali terkekeh dalam hati. Pikiranmu kembali melompat mundur ke kejadian imajiner di penthouse apartemen. Kenapa kau menyeduh sup miso instan? Padahal restoran steak di depanmu sekarang pasti punya layanan delivery, atau setidaknya bisa dipesan di aplikasi ojek online. Tengah malam berbulan sabit dan berbintang sedikit, dua porsi steak, dua gelas wine, dan alunan More Than Words mestinya lebih dari cukup untuk disebut manis. Tak terlalu mewah, tapi juga tak dapat dibilang sederhana. Sudah cukup untuk sebuah pertemuan pertama yang penuh cerita-cerita, dan kau tak perlu melakukan apapun selain mendengarnya.

Kemudian pikiranmu kembali buyar karena kau merasa kepalamu mulai pusing. Akhirnya kau putuskan tak jadi makan. Baik di warung mie babi ataupun di restoran steak. Sebelum cerita ini berakhir, kau akan pulang memesan ojek. Di rumah nanti setelah mandi dan bersih-bersih, kau akan menyeduh sup miso instan.

***

--

--